KOTA PUSAKA DUNIA

Saya ingin membagi pengalaman saya dengan kota-kota dan kabupaten-kabupaten di Indonesia yang saya kira semua bermimpi suatu hari bisa mengajukan nominasi sebagai Kota Pusaka Dunia. Indonesia belum mempunyai kota pusaka dunia sampai saat ini tetapi Jakarta dan Sawahlunto sudah mengajukan nominasi. Mempersiapkan nominasi itu rumit dan perlu nafas panjang tetapi memikirkan rencana manajemen kota pusaka jangka panjang dan menerapkannya jauh lebih rumit dan menuntut komitmen tinggi.

Pertama kali saya mengikuti diskusi tentang dinamika pengelolaan kota pusaka dunia yaitu di awal tahun 1990-an di Kota Pusaka Li Jiang di Cina. Li Jiang menjadi living museum, ditinggalkan penduduk lokalnya kecuali orang-orang yang sudah sangat tua yang harus terus bekerja di sektor pariwisata melayani arus deras turis dari seluruh dunia.

Setelah itu saya mengunjungi banyak kota pusaka dunia lain dan melihat berbagai dinamika dan tantangan pengelolaan tempat-tempat yang mendapat status pusaka dunia. Tahun 2018 saya mulai dengan mengunjungi Galle Fort di Sri Lanka pada bulan Maret dan sekarang saya sedang berada di Cartegena di Kolombia.

Selain itu saya tinggal di Amsterdam yang mendapat status sebagai kota pusaka dunia sejak tahun 2010 sehingga saya bisa melakukan pengamatan sehari-hari tentang dinamika sebuah kota pusaka dunia. Banyak pelajaran yang bisa diambil dan kasusnya berbeda-beda. Amsterdam adalah salah satu contoh yang relatif baik karena statusnya masih baru dan berkesempatan mengambil hikmah dari kota-kota pusaka dunia lain yang sudah jauh lebih lama bergulat dengan manajemen penyeimbangan antara kepentingan lokal dan serbuan wisatawan asing. Namun tempat-tempat yang lain saya melihat masih sering terjebak pada pola manajemen yang sama yaitu mendahulukan wisatawan dan menomorduakan kepentingan penduduk lokal.

Fenomena umum yang terjadi adalah pengambilalihan ruang dan prioritas dari penduduk lokal oleh wisatawan baik asing maupun domestik. Properti dan lahan dipindahtangankan, kegiatan ekonomi difokuskan pada pariwisata, lambat laun terjadi pergantian posisi antara pendatang dan penduduk lokal.

Transisi pergantian peran tersebut tanpa disadari mengikis sense of place . Tanpa dinamika kehidupan penduduk lokal, hilang juga semangat, ruh dan jiwa suatu tempat. Padahal sense of place itu yang menjadi nilai intrinsik yang membuat suatu tempat unik dan mendapat status sebagai pusaka dunia. Pusaka teraga seperti bangunan dan infrastruktur mungkin ada dan sudah dilestarikan tetapi tanpa jiwa, tanpa gairah, tanpa kehidupan lokal. Kosong. Sepi. Hilang.

Saya banyak merenung dan memikirkan fenomena ini. Perlahan-lahan saya mulai melihat akar masalahnya. Tentu saja banyak sudah referensi yang membahas mengenai dinamika manajemen kota pusaka dunia tetapi ini adalah pendapat saya pribadi dengan segala kerendahhatian dan orientasi kepada hal yang praktis. 

Menurut saya jika suatu tempat mendapat status sebagai pusaka dunia maka kebijakan yang sebaiknya diadopsi adalah penguatan dan pemberdayaan penduduk lokal karena itulah modal dasar status pusaka dunia.

Seorang kepala daerah bisa membentuk dua macam lembaga sumber pendanaan dan kebijakan yaitu:

1. Kebijakan dan Dana Abadi (revolving fund) untuk pemeliharaan pusaka fisik;
2. Kebijakan dan Dana Abadi untuk pemberdayaan pusaka non-fisik (pusaka tak teraga seperti tradisi, produksi kebudayaan dan sumberdaya manusia).

Penduduk lokal adalah "raja" di rumah mereka sendiri dan mendapat prioritas dalam pemeliharaan status pusaka dunia. Dengan adanya skema dana abadi para pemilik bangunan tidak perlu tergiur menjual properti mereka kepada investor dan pindah ke tempat lain. Mereka adalah penjaga gawang dan bagian penting yang harus tetap mampu melanjutkan kehidupan mereka setelah penganugerahan status pusaka dunia. Peraturan dan kebijakan pasti bisa diatur untuk pengelolaan dana abadi jika memang ada itikad untuk memprioritaskan penduduk lokal dan menganggap mereka itu bagian yang tidak terpisahkan dari status pusaka dunia. Betapa banyaknya situs dan kota pusaka dunia menjadi living museum dan kota hantu jika penduduk lokalnya pindah. 

Kedua adalah dana abadi untuk pemberdayaan pusaka non fisik. Dana ini dimaksudkan untuk mendukung usaha-usaha kewiraswastaan yang memunculkan tradisi dan identitas lokal. Bentuknya bisa dalam bentuk kuliner, kerajinan, produk kreativitas, segala bentuk karya seni, permainan tradisional, kebiasaan lokal dan banyak lagi. Dana ini juga untuk pemberdayaan sumberdaya manusia dan kelembagaan yang terlibat dalam seluruh usaha pelestarian pusaka non fisik itu. Dengan cara ini penduduk lokal adalah pemain utama di rumah mereka sendiri dan tidak terdesak serta terpinggirkan oleh investor-investor baru. 

Setelah penduduk lokal diberi prioritas maka hal lain yang mendesak untuk dikelola adalah arus wisatawan. Tentu saja menggiurkan untuk mengundang wisatawan sebanyak-banyaknya demi keuntungan ekonomi namun perlu diingat bahwa setiap tujuan wisata mempunyai carrying capacity (daya tampung) yang terbatas. Oleh sebab itu arus wisatawan perlu diatur sesuai dengan daya tampung yang wajar. Secara jangka panjang hal ini juga akan menguntungkan dan positif bagi semua pihak. Saat ini kemajuan teknologi cukup memadai untuk mengatur semua elemen dinamika pariwisata baik di tingkat domestik maupun internasional. Jika manajemennya profesional daya tampung bisa diefektifkan untuk memberi manfaat maksimal bagi investasi lokal.

Dengan demikian hal-hal yang menjadi kunci utama adalah penduduk lokal, investasi lokal dan peningkatan kualitas kehidupan lokal. Jika ke-lokal-an diunggulkan dan diprioritaskan, dengan sendirinya wisatawan akan datang dan tidak akan ada habisnya sebagaimana yang diharapkan karena mereka menemukan apa yang mereka cari. 

Comments

Popular posts from this blog

REFLECTION ON 2023

RISE AND FALL OF SUGAR INDUSTRY IN INDONESIA

INFILL DEVELOPMENT