PARU-PARU UNTUK JAKARTA

Dimuat di Warta Kota, 1 Juli 2009

Jakarta berulang tahun jadi layak mendapat kado. Kadonya adalah informasi bagaimana agar Jakarta mempunyai ”paru-paru” yang memadai dan sehat. Jika ”paru-paru” Jakarta sehat maka akan sehat pula penduduk Jakarta.

”Paru-paru” Jakarta adalah kawasan hijau yang menurut Undang-undang no. 26 tahun 2007 minimal 13,9 persen dari luas kota. Persentase itu sudah jauh menurun dari peraturan yang berlaku pada tahun 1960-an yang mensyaratkan sekitar 27 persen lahan haruslah kawasan hijau.

Untuk mewujudkan kewajiban menciptakan kawasan hijau yang wajib tersebut Pemerintah DKI harus bekerja keras dan menghadapi banyak kendala. Pertama dari segi fungsi penghijauan untuk menahan air, akar pohon tidak bekerja maksimal karena lahan di Jakarta penuh dengan beton. Selain tidak mampu menahan air, pohon-pohon di Jakarta juga tidak maksimal berfungsi sebagai peredam suara dan penurun temperatur. Kedua, untuk mencapai kuota luas kawasan hijau, Pemerintah DKI harus membebaskan lahan yang banyak diambilalih oleh penghuni liar.

Berbagai kendala itu membuat penghijauan di Jakarta masih sebatas tingkat kasat mata atau Leaf Area Index, yaitu perbandingan antara total luas penampang daun dengan kawasan disekitarnya. Kawasan hijau pun terbatas di jalan-jalan utama dan tidak sebanding dengan beban polusi udara & suara yang menggempur ibukota tanpa henti. Bisa dibayangkan apa akibatnya jika ”paru-paru” tidak bekerja dengan baik seperti ini.

Kawasan hijau sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai ”paru-paru” kota. Fungsi penting lainnya adalah sebagai tempat penduduk bersosialisasi dalam arti fisik dan mental melalui sarana olahraga & rekreasi. Kawasan hijau mempunyai fungsi menciptakan kohesi sosial tempat orang bertemu dan berinteraksi.

Pada awal abad ke 20, London menciptakan taman-tamannya untuk piknik. Untuk masa itu ide tersebut dianggap revolusioner. Begitu juga dengan taman-taman di Jerman yang berfungsi sebagai sarana olahraga dan rekreasi. Belajar dari Inggris dan Jerman, Belanda juga mengadopsi gagasan yang sama pada tahun 1930-an. Pemerintah Kota Amsterdam saat itu bertekad menciptakan kawasan hijau yang bukan saja untuk dilihat tetapi juga untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Satu lagi alasan kuat untuk meciptakan kawasan hijau yang dinamai Amsterdamse Bos (Hutan Amsterdam) ini adalah krisis ekonomi. Pemerintah Kota Amsterdam berusaha menciptakan suatu proyek dengan gagasan ”lima tahun kerja untuk seribu orang.” Maka bekerjalah sekitar 50 ribu tenaga kerja dan proyek ini ternyata memakan waktu lebih dari lima tahun. Bahkan sampai tahun 1940-an masih ada sekitar 20 ribu pekerja yang terlibat menciptakan kawasan hijau Amsterdam ini. Pada tanggal 25 Maret 1970 ditanamlah pohon terakhir di Hutan Amsterdam ini menandai berakhirnya proyek penciptaan lapangan kerja dan ”paru-paru” kota Amsterdam seluas seribu hektar.


Hutan Amsterdam memperingati 75 tahun keberadaannya tahun 2009 ini. Sekitar 4,5 juta pengunjung per tahun memanfaatkan kawasan hijau ini untuk berbagai kegiatan. Di sini olahraga yang bisa dilakukan selain berjalan kaki adalah hoki, mendayung, kriket, kano, tenis, sepakbola, berkuda dan memancing. Kegiatan rekreasi yang bisa dilakukan diantaranya adalah menaiki tram antik dan mengunjungi museumnya, menonton di teater terbuka, berbagai aktivitas untuk anak-anak dan piknik. Masyarakat bisa mengikuti ekskursi, bisa mengadakan pesta, bisa menonton pameran dan yang paling populer adalah fungsinya sebagai sarana pendidikan anak-anak. Sebagian besar kegiatan dan fasilitas bisa dimanfaatkan dengan gratis.

Mudah-mudahan Jakarta bisa lebih sungguh-sungguh mewujudkan kawasan hijaunya setelah berulangtahun yang ke 482. Cukup usia untuk bertindak dewasa sebagai sebuah ibukota. Dewasa untuk membedakan antara penghijauan yang kosmetis belaka dan penghijauan yang bukan hanya baik bagi lingkungan tapi juga masyarakatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Le Corbusier's Ghetto (and how the Dutch deal with it)

INFILL DEVELOPMENT

RISE AND FALL OF SUGAR INDUSTRY IN INDONESIA