150 TAHUN MAX HAVELAAR (2)
Universitas Amsterdam berpartisipasi dalam perayaan 150 Tahun Max Havelaar dengan menggelar pameran berjudul : "Ini Bukan Roman, Tetapi Sebuah Tuntutan!"
Kesan tentang daerah Lebak, Banten, yang disimbolkan
dengan kerbau, kostum bupati dan dapur tradisional.
Pemutaran film "Saidjah dan Adinda"
Saidjah dan Adinda merupakan jendela kisah Max Havelaar, tentang sejarah percintaan dua sejoli pribumi. Saidjah sejak masa kecilnya dihadapkan pada ketidakadilan. Ayahnya meninggal dunia dalam penjara, beliau tidak mampu membayar pajak tanah karena kerbaunya dicuri. Saidjah pergi ke Batavia untuk mencari nafkah agar kelak diizinkan untuk mempersunting Adinda, gadis di desanya. Ketika Saidjah kembali kedesanya tiga tahun kemudian, desa itu sudah diberangus oleh pihak Belanda. Saidjah menemukan jasad Adinda diantara mayat yang bergelimpangan. Kesedihan yang mendalam membuatnya tegar menghadapi sepasukan prajurit Belanda yang menghunusnya dengan bayonet.
Kisah ini menggambarkan jurang antara kaya dan miskin, penguasa dan yang dikuasai, sebuah pesan utama yang menjadi sumber gugatan Max Havelaar.
Fakta dan angka berjudul "Kolonialisme di Hindia-Belanda".
Foto-foto teks dalam blog ini tidak begitu jelas tetapi menjadi bukti kejujuran pihak penyelenggara pameran terhadap kenyataan pahit penjajahan Belanda di Indonesia.
< Hasil dari "Cultuurstelsel" atau 'batige saldi' atau tanam paksa sangat besar. Tahun 1834 hasil tanam paksa masih 6 juta gulden, tetapi pada tahun 1857 meningkat hingga 45 juta gulden. Keuntungan dari produk-produk asal Jawa pada masa itu memberi kontribusi 25% dari pemasukan negara Belanda.
Antara tahun 1850-1859 Perusahaan Dagang Belanda memperoleh 85% keuntungannya dari kopi. Bukannya tanpa alasan mengapa Multatuli menulis sub-judul dalam Max Havelaar, 'pelelangan kopi Perusahaan Dagang Belanda'.
Bebas dari Pajak
Keuntungan yang didapat dari Hindia-Belanda digunakan untuk modernisasi di Belanda. Maka dibangunlah jalur kereta api, berbagai jembatan dan kanal-kanal. Bukan hanya itu, berkat Indonesia pula, warga Belanda saat itu dibebaskan dari membayar pajak.
Sistem Pemerintahan Dualisme.
Di tingkat tertinggi pemerintahan daerah terdapat seorang Residen Belanda diibaratkan "seorang kakak laki-laki." Kemudian ada seorang Jawa yang menjabat sebagai Bupati yang diibaratkan"adik lelaki" dan seorang Belanda yang menjabat sebagai asisten residen.
Pemutaran film "Saidjah dan Adinda"
Saidjah dan Adinda merupakan jendela kisah Max Havelaar, tentang sejarah percintaan dua sejoli pribumi. Saidjah sejak masa kecilnya dihadapkan pada ketidakadilan. Ayahnya meninggal dunia dalam penjara, beliau tidak mampu membayar pajak tanah karena kerbaunya dicuri. Saidjah pergi ke Batavia untuk mencari nafkah agar kelak diizinkan untuk mempersunting Adinda, gadis di desanya. Ketika Saidjah kembali kedesanya tiga tahun kemudian, desa itu sudah diberangus oleh pihak Belanda. Saidjah menemukan jasad Adinda diantara mayat yang bergelimpangan. Kesedihan yang mendalam membuatnya tegar menghadapi sepasukan prajurit Belanda yang menghunusnya dengan bayonet.
Kisah ini menggambarkan jurang antara kaya dan miskin, penguasa dan yang dikuasai, sebuah pesan utama yang menjadi sumber gugatan Max Havelaar.
Fakta dan angka berjudul "Kolonialisme di Hindia-Belanda".
Foto-foto teks dalam blog ini tidak begitu jelas tetapi menjadi bukti kejujuran pihak penyelenggara pameran terhadap kenyataan pahit penjajahan Belanda di Indonesia.
< Hasil dari "Cultuurstelsel" atau 'batige saldi' atau tanam paksa sangat besar. Tahun 1834 hasil tanam paksa masih 6 juta gulden, tetapi pada tahun 1857 meningkat hingga 45 juta gulden. Keuntungan dari produk-produk asal Jawa pada masa itu memberi kontribusi 25% dari pemasukan negara Belanda.
Antara tahun 1850-1859 Perusahaan Dagang Belanda memperoleh 85% keuntungannya dari kopi. Bukannya tanpa alasan mengapa Multatuli menulis sub-judul dalam Max Havelaar, 'pelelangan kopi Perusahaan Dagang Belanda'.
Bebas dari Pajak
Keuntungan yang didapat dari Hindia-Belanda digunakan untuk modernisasi di Belanda. Maka dibangunlah jalur kereta api, berbagai jembatan dan kanal-kanal. Bukan hanya itu, berkat Indonesia pula, warga Belanda saat itu dibebaskan dari membayar pajak.
Pada tahun 1860 Perusahaan Dagang Belanda mengirim 162 juta kilo komoditi dari Jawa ke Belanda. Dari jumlah itu 90% diantaranya dijualbelikan di Belanda.
Tanam paksa berjalan hingga sekitar tahun 1870. Untuk komoditi yang menguntungkan seperti kopi, tanam paksa bertahan lebih lama lagi. Itulah satu-satunya cara yang membuat Jawa menjadi alasan bagi Belanda untuk bertahan, menurut Menteri Koloni, J.C. Baud
Eksploitasi
Tanam paksa disalahgunakan secara besar-besaran. Para petani dipaksa untuk memanfaatkan lebih dari 20% lahan suburnya untuk kepentingan Belanda.
Para petani yang tidak memiliki lahan subur dipaksa bekerja untuk Pemerintah 66 hari per tahun. Pada tahun 1858 diperkerjakan secara paksa 860 ribu petani di lahan kopi, gula dan indigo. Populasi saat itu 12,5 juta. Tanam paksa ini pada kenyataannya sama dengan perbudakan.Sistem Pemerintahan Dualisme.
Belanda memperluas sistem feodal yang sudah ada di Hindia-Belanda dengan sistem pemerintahan dualisme. Jawa dipecah belah menjadi residensi dan setiap residensi dipimpin oleh seorang Belanda sebagai kepala pemerintah kolonial dan seorang Jawa sebagai kepala pemerintah pribumi.
Residen, Bupati, Asisten Residen.Di tingkat tertinggi pemerintahan daerah terdapat seorang Residen Belanda diibaratkan "seorang kakak laki-laki." Kemudian ada seorang Jawa yang menjabat sebagai Bupati yang diibaratkan"adik lelaki" dan seorang Belanda yang menjabat sebagai asisten residen.
Sejak akhir Abad ke-16 orang-orang Belanda datang ke Hindia-Belanda. VOC menguasai berbagai wilayah di Jawa dan tempat lainnya. Hindia-Belanda membuat Belanda ...(teks tidak terbaca dalam foto ini. Akan dicek lagi)
Buku Max Havelaar dalam berbagai bahasa.
Pemerintahan Lebak yang sekarang ikut dipamerkan.
Berbagai peran dalam Max Havelaar sebagian bersifat fiktif. Sebagian peran menggunakan nama aslinya, seperti Tine dan sebagian lagi menggunakan nama roman seperti Brest van Kempen dan Douwes Dekker.
produk-produk perdagangan yang dilakukan secara adil (fairtrade).
Pemerintahan Lebak yang sekarang ikut dipamerkan.
Berbagai peran dalam Max Havelaar sebagian bersifat fiktif. Sebagian peran menggunakan nama aslinya, seperti Tine dan sebagian lagi menggunakan nama roman seperti Brest van Kempen dan Douwes Dekker.
Nama-nama figur fiktif menggambarkan karakter orangnya seperti Drogstoppel dan Wawelaar. Figur-figur tersebut mewakili orang Belanda anonim yang mendapat keuntungan dari kesalah-kaprahan di Hindia-Belanda, tanpa merasa bersalah atau bahkan tidak tahu-menahu sama sekali. Max Havelaar ditulis khususnya untuk orang-orang yang masuk dalam kelompok ini.
Kostum-kostum yang menggambarkan berbagai figur dalam Max Havelaar.
Kostum-kostum yang menggambarkan berbagai figur dalam Max Havelaar.
Comments