KAWASAN BERSEJARAH BEBAS KENDARAAN

Warta Kota, 30 April 2009
Salahsatu aspek penting dalam pelestarian pusaka adalah pengelolaan lalulintas khususnya di kawasan bersejarah di pusat kota. Lalu lintas harus dibatasi seminimal mungkin untuk mengurangi dampaknya terhadap bangunan bersejarah sekaligus menciptakan kenyamanan bagi para pengunjung. Lalu lintas menciptakan polusi suara dan polusi udara; serta merusak fungsi sosial dan rekreasi yang ditawarkan oleh jalan, gang dan trotoar. Bagi kawasan bersejarah seperti Jakarta Kota, Braga di Bandung, Malioboro di Yogyakarta atau Kesawan di Medan dampak polusi udara lalu lintas jelas terlihat dari penampilan fasade bangunan yang kusam, berdebu dan kotor. Polusi udara, beban dan getaran dari lalu lalang kendaraan merupakan ancaman bagi bangunan bersejarah dan lingkungan sekitarnya.

Usaha untuk meredam lalu lintas di kawasan bersejarah sudah pernah ada. Ambil contoh di Jakarta pada pertengahan April lalu dengan gagasan bebas mobil walaupun hanya satu hari. Di Medan, usaha menciptakan Kesawan bebas kendaraan dimulai sejak tahun 2002 dengan dilarangnya kendaraan bermotor melintasi jalan Kesawan antara jam 6 sore hingga jam 6 pagi setiap harinya. Kesawan di malam hari berubah menjadi tempat rekreasi dengan berbagai lampu penghias jalan, aneka makanan tradisional dan pertunjukan. Kawasan bersejarah ini menjadi hidup kembali. Usaha serupa diikuti oleh Semarang dengan kawasan bersejarah Tionghoa-nya yang diubah menjadi ”Kya-kya” (food court) di malam hari. Sementara di Jakarta agaknya diperlukan komitmen dan keberanian yang lebih besar lagi daripada sekedar memberlakukan hari bebas mobil untuk satu hari.

Kawasan bersejarah Jakarta Kota terlalu berharga untuk diterlantarkan. Pada abad ke-16 kawasan ini disebut ”Permata Asia” dan ”Ratu dari Timur” oleh para pelayar dari Eropa sebagai pusat perdagangan paling ramai di seluruh benua Asia karena lokasinya yang strategis dan tanahnya yang subur. Sejak Gubernur Ali Sadikin menetapkan Jakarta Kota sebagai kawasan bersejarah yang dilindungi pada tahun 1972, kita belum menikmati hasilnya yang maksimal hingga kini. Mungkin karena usaha pelestariannya dilakukan serba setengah-setengah, tidak menyeluruh, tidak ”sekalian,” tidak ”berani mati” dan tidak tulus. Jadinya berbagai inisiatif insidental di sana-sini selama puluhan tahun rusak kembali dan terlindas oleh waktu, saling tumpang tindih dan tambal sulam terus.

Salahsatu kebijakan ”berani mati” yang bisa diambil misalnya memberlakukan Jakarta Kota sebagai kawasan pejalan kaki secara permanen. Namun ketika usul ini dilontarkan, banyak pihak sangat pesimis. Kenapa pesimis? Karena orang Jakarta tidak biasa berjalan kaki. Mobil harus berhenti persis di depan pintu. Takut panas matahari. Banyak polusi debu. Perlu keberanian besar untuk mengubah cara berpikir masyarakat, memperkenalkan budaya jalan kaki, menikmati gaya hidup tanpa mobil untuk sejenak, dan kita semua akan terpana kelak mendapati bahwa ternyata kawasan Jakarta Kota (dan pusat-pusat kota bersejarah lainnya di Indonesia) sangat nyaman untuk dinikmati tanpa kendaraan. Namun perlu keberanian besar dan komitmen yang tidak setengah hati untuk mewujudkannya. Kepura-puraan mencintai sejarah dan pusaka (heritage) tidak cukup untuk mengubah Jakarta Kota menjadi kawasan yang mendatangkan keuntungan secara sosial dan ekonomi.

Menjadikan kawasan bersejarah sebagai kawasan pejalan kaki secara permanen bukan hal mudah, namun bukannya tidak mungkin. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkannya :

Mengatur akses sifatnya sangat fundamental dalam manajemen kawasan bersejarah secara komprehensif. Aksesibilitas dengan berbagai mode transportasi sampai jarak tertentu harus diatur dengan fasilitas parkir, akses untuk pengiriman barang dan infrastruktur pengarahan lalulintas. Semuanya harus diintegrasikan ke dalam kota tanpa mengorbankan kawasan bersejarah;
Peningkatan kualitas jasa angkutan umum dapat membantu mengatasi kemacetan dan mendorong masyarakat untuk mengubah mode transportasi dari privat ke publik.
Keinginan untuk menyediakan fasilitas yang memadai dapat berbenturan dengan kebutuhan untuk melindungi penampilan bangunan bersejarah dan pemandangan jalan-jalan disekitarnya yang cukup sensitif. Perlu dipikirkan keseimbangan untuk memastikan bahwa nilai kawasan bersejarah terjaga sekaligus kebutuhan terhadap akses terpenuhi;
Kawasan bersejarah menjadi tujuan menarik bagi bus-bus pariwisata dan ketika masa liburan bisa memberi dampak serius bagi sistem transportasi dalam kota, kualitas hidup warga di kawasan bersejarah, kualitas udara dan menjadi beban ekstra bagi kapasitas jalan.
Sistem transportasi yang terintegrasi sangat vital bagi kesuksesan manajemen akses ke kawasan bersejarah.
Pejalan kaki dapat dengan mudah, aman dan menyenangkan mengeksplorasi kawasan bersejarah. Kenyamanan berjalan kaki dapat saja terganggu dengan adanya lalu lintas, pemeliharaan jalan dan trotoar, rambu-rambu, perabot jalan dan kualitas udara.
Pengurangan kemacetan lalu lintas di kawasan bersejarah tidak akan tercapai tanpa penyediaan alternatif mode transportasi yang jelas dan efisien.
Sebagian pengusaha yakin bahwa menjadikan kawasan bersejarah sebagai kawasan pejalan kaki akan mematikan usaha mereka. Faktanya adalah toko-toko mendapatkan untung lebih besar dengan adanya pedestrianisasi. Mungkin toko perabot akan pindah, namun akan datang toko-toko baru dengan keuntungan lebih tinggi. Tidak ada kasus suatu kawasan pejalan kaki harus dibuka kembali aksesnya untuk kendaraan karena usaha di kawasan tersebut merugi. Para perencana kota saat ini sadar bahwa kawasan pejalan kaki merupakan kawasan usaha yang lebih menguntungkan; alasannya sederhana saja yaitu jalan kaki adalah mode transportasi yang memungkinkan tingkat kepadatan dompet tertinggi di sepanjang etalase toko-toko.

Berita baiknya adalah berbagai kawasan bersejarah di Indonesia termasuk Jakarta bukan satu-satunya yang mengalami masalah keriuhan dan kemacetan lalu lintas. London juga mengalami hal yang sama di sekitar kawasan Menara London dan Istana Westminster. Lalu lintas membuat kawasan tersebut menjadi bau, ribut dan susah dicapai oleh para pejalan kaki. Pemerintah setempat mulai memikirkan program traffic calming sebagai solusinya.

Malaka di Malaysia sudah mengambil langkah berani dengan mejadikan kawasan bersejarahnya sebagai kawasan pejalan kaki. Begitu juga dengan kota Fazilka di India yang membuktikan melalui survei bahwa lebih dari 90% penduduknya mendukung usaha menjadikannya sebagai kawasan pejalan kaki. Mungkin langkah ini akan diikuti Jakarta, Bandung, Yogya dan Medan. Selamat berjalan kaki. #

Comments

Popular posts from this blog

REFLECTION ON 2023

RISE AND FALL OF SUGAR INDUSTRY IN INDONESIA

INFILL DEVELOPMENT