SENSITIVITAS FUNGSI BARU BANGUNAN BERSEJARAH
Warta Kota, 27 Maret 2009
Bangunan berusia minimal 50 tahun yang mempunyai kekhususan dari segi arsitektural dan menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat layak disebut sebagai bangunan bersejarah. Indonesia mempunyai banyak sekali bangunan bersejarah yang sifatnya tradisional maupun kolonial. Untuk melestarikan bangunan bersejarah, selain peremajaan secara fisik juga perlu adanya fungsi baru.
Fungsi baru bangunan bersejarah sebaiknya memperhatikan aspek-aspek :
Fungsi baru bangunan bersejarah sebaiknya memperhatikan aspek-aspek :
· Tata kota (lokasi bangunan dan lingkungan sekitar)
· Fisik bangunan (arsitektural, konstruksi, organisasi ruang, fisika bangunan)
· Ekonomi (potensi untuk memobilisasi pendapatan)
· Sosial (potensi untuk kesejahteraan dan kebanggaan masyarakat)
Pengalaman menunjukkan bahwa memutuskan fungsi baru bangunan bersejarah tidaklah sederhana karena selain harus memperhatikan nilai fisik, kita juga harus menimbang dengan cermat nilai intrinsiknya. Mungkin itu sebabnya kasus Buddha Bar di Jakarta menyeruak karena fungsi yang baru dari gedung eks-immigrasi tersebut tidak memenuhi kriteria sosial di atas. Penggunaan nama Buddha Bar dianggap tidak layak karena memiliki asosiasi dengan agama Buddha dan juga posisinya diantara agama-agama lain. Selain itu fungsi baru gedung ex-imigrasi juga dianggap elitis hanya untuk golongan atas saja.
Sensitivitas fungsi baru bangunan bersejarah terjadi dimana-mana. Kita bisa mengambil contoh dari beberapa negara. Di Belanda banyak gereja dan biara dimanfaatkan untuk fungsi yang baru sebagai cerminan proses sekularisasi. Sebagian anggota masyarakat keberatan dengan hal itu karena bagi mereka gereja dan biara adalah jiwa dari suatu tempat dan nilai relijiusnya harus dipertahankan. Ada sebagian orang yang berusaha menyesuaikan dengan tuntutan tersebut dan menjadikan bangunan bekas gereja dan biara misalnya sebagai penampungan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Namun banyak juga yang tidak keberatan dengan fungsi sekuler dengan menyulapnya sebagai tempat pesta dan apartemen.
Perubahan fungsi bangunan yang termasuk pusaka relijius sebenarnya bukan hal yang baru dan terjadi dimana-mana. Misalnya saja gedung Hagia Sophia di Istanbul yang dibangun tahun 536 sebagai gereja terbesar di dunia, pada tahun 1453 berubah menjadi mesjid dan tahun 1934 berubah lagi menjadi museum. Sementara itu De Mesquita di Cordoba, Italia, kompleks bangunan yang selesai dibanguna tahun 1000 Masehi, berubah fungsinya menjadi katedral pada abad ke-16.
Walaupun demikian fakta-fakta ini tidak membuat gejolak emosi perubahan fungsi bangunan bersejarah yang termasuk pusaka relijius berhenti. Protes dan silang pendapat masih berlangsung sampai sekarang karena nilai sosial suatu bangunan bersejarah tidak bisa diberi label harga tertentu, semakin besar nilai memori kolektifnya, semakin sensitif pula penentuan fungsi barunya. Situasi ini diperumit dengan persyaratan ekonomis bahwa fungsi baru harus mampu pula mendatangkan pendapatan yang cukup untuk pemeliharaan bangunan dan tentu saja keuntungan untuk investornya. Mencari keseimbangan antara nilai sosial dan nilai ekonomis merupakan tantangan yang berat.
Salahsatu contoh pelestarian pusaka yang mendekati keseimbangan nilai sosial dan nilai ekonomis adalah Westergasfabriek di Amsterdam.
Westergasfabriek adalah pabrik batubara yang dibangun tahun 1885 dan berhenti berproduksi tahun 1967. Sejak itu kompleks bangunan seluas 14 hektar ini berfungsi sebagai garasi dan bengkel. Sebagian bangunan dihancurkan dan yang tersisa adalah 13 bangunan bergaya Neo-Renaisan yang seluruhnya berstatus bangunan bersejarah yang dilindungi.
Bagaimana menentukan fungsi baru yang sesuai untuk lahan pusaka sarat polusi dengan banyak bangunan bersejarah diatasnya? Strategi yang dipilih adalah mengkombinasikan fungsi baru yang sifatnya sementara yaitu sebagai tempat berbagai pertunjukan, dengan rencana pelestarian jangka panjang sebagai taman budaya dan sarana rekreasi & olahraga.
Lahan pusaka ini harus dibersihkan dulu, bangunan-bangunannya harus direnovasi, tim kerja harus dibentuk, dana harus dicari dan semua itu merupakan suatu proses panjang yang kompleks selama hampir 15 tahun. Motor dan inisiatornya adalah pemerintah lokal yang menunjuk seorang pejabat sebagai penanggungjawab seluruh proyek. Pimpinan proyek inilah yang mengorganisasikan kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat. Sejak tahun 2003 di kawasan ini dikembangkan berbagai fungsi baru antara lain bioskop, ruang pertemuan, sarana pertunjukan, bakeri, kafe, galeri, berbagai perusahaan, tempat penitipan balita dan museum untuk anak-anak. Selain itu fasilitas ruang terbuka dimanfaatkan sebagai sarana olahraga dan rekreasi oleh publik secara cuma-cuma. Westergasfabriek mampu menggalang dananya sendiri untuk pemeliharaan tanpa bergantung pada subsidi pemerintah dan kompleks ini menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.
Dalam kasus Buddha Bar di Jakarta, masalahnya bukan hanya nilai ekonomis dan nilai sosial namun juga berunsur permainan politis melalui kepemilikan berbau nepotisme. Jika masalahnya diurai satu demi satu dan dipisah-pisahkan, terlepas dari komplikasi nepotisme, mungkin harus dievaluasi kembali kemungkinan terbaik fungsi baru gedung ini bagi Jakarta. Suatu fungsi baru yang mengembalikan investasi dan memberi keuntungan ekonomis, menumbuhkan kebanggaan warga Jakarta dan memberi manfaat bagi khalayak seluas-luasnya. Mungkin kombinasi berbagai fungsi baru seperti Westergasfabriek namun dalam skala lebih kecil merupakan suatu alternatif. #
Comments